Rabu, 18 Maret 2009

Pendidikan Dasar

Artikel 1:

Pendidikan Dasar Untuk Semua

Dalam 20 tahun terakhir Indonesia telah mengalami kemajuan di bidang pendidikan dasar. Terbukti rasio bersih anak usia 7-12 tahun yang bersekolah mencapai 94 persen. Meskipun demikian, negeri ini masih menghadapi masalah pendidikan yang berkaitan dengan sistem yang tidak efisien dan kualitas yang rendah. Terbukti, misalnya, anak yang putus sekolah diperkirakan masih ada dua juta anak.

Indonesia tetap belum berhasil memberikan jaminan hak atas pendidikan bagi semua anak. Apalagi, masih banyak masalah yang harus dihadapi, seperti misalnya kualifikasi guru, metode pengajaran yang efektif, manajemen sekolah dan keterlibatan masyarakat. Sebagian besar anak usia 3 sampai 6 tahun kurang mendapat akses aktifitas pengembangan dan pembelajaran usia dini terutama anak-anak yang tinggal di pedalaman dan pedesaan.

Anak-anak Indonesia yang berada di daerah tertinggal dan terkena konflik sering harus belajar di bangunan sekolah yang rusak karena alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan pusat yang tidak memadai. Metode pengajaran masih berorientasi pada guru dan anak tidak diberi kesempatan memahami sendiri. Metode ini masih mendominasi sekolah-sekolah di Indonesia. Ditambah lagi, anak-anak dari golongan ekonomi lemah tidak termotivasi dari pengalaman belajarnya di sekolah. Apalagi biaya pendidikan sudah relatif tak terjangkau bagi mereka.

Bagaimanapun, kita ikut bertanggung jawab dengan pendidikan di negeri ini. Memulai untuk memikirkan dan berbuat agar masalah pendidikan di negeri ini dapat teratasi. Banyak hal yang bisa kita lakukan, diantaranya:

Ø Memberikan pendidikan yang benar bagi keluarga

Ø Membantu anak tetangga yang putus sekolah agar dapat bersekolah lagi

Ø Tanggap terhadap kualitas pengajaran di sekolah di mana anak-anak kita bersekolah

Ø Meyakinkan anak jalanan agar mau bersekolah

Ø Bersikap bijak pada anak didik

Ø Tidak egois dan penuh amarah saat menasihati anak, karena saat marah kita cenderung ir-rasional dan si anak jadi tidak meresapai apa yang kita katakan. sebaiknya menasihati saat si anak senang, bahagia, bila perlu sambil bermain

Ø Berbuat atas dasar kasih saying.

Artikel 2:

Minim Perpustakaan di Tingkat Pendidikan Dasar

Fasilitas perpustakaan sebagai salah satu sarana dan prasarana di sekolah yang penting untuk meningkatkan mutu pendidikan masih rendah. Kondisi perpustakaan yang memprihatinkan, baik soal ruangan perpustakaan maupun koleksi buku-buku yang tersedia, justru terjadi di tingkat pendidikan dasar.

Dari data Departemen Pendidikan Nasional, pada 2008 tercatat baru 32 persen SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di tingkat SMP sebanyak 63,3 persen. Pada tahun ini, pemerintah menargetkan penambahan ruang perpustakaan di sekolah-sekolah pada jenjang pendidikan dasar sekitar 10 persen.

Yanti Sriyulianti, Koordinator Education Forum, di Jakarta, Selasa (13/1), mengatakan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai standar nasional merupakan tanggung jawab pemerintah. Masyarakat bisa menuntut pemerintah pusat dan daerah jika terjadi kesenjangan mutu pendidikan akibat sarana dan prasarana yang timpang di antara perkotaan dan pedesaan atau di antara sekolah-sekolah yang ada.

Perpustakaan yang merupakan salah satu tempat untuk siswa dan guru mencari sumber belajar belum dianggap penting. Keberadaan perpustakaan hanya sekadar memenuhi syarat tanpa memperhatikan bagaimana seharusnya fasilitas perpustakaan disediakan dan bagaimana menjadikan perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan bagi siswa dan guru untuk menumbuhkan minat baca.

Abbas Ghozali, Ketua Tim Ahli Standar Biaya Pendidikan Badan Standar Nasional Pendidikan, mengatakan pendidikan dasar di Indonesia yang diamanatkan konstitusi untuk menjadi prioritas pemerintah masih berlangsung ala kadarnya. Pemerintah masih berorientasi pada menegejar angka statistik soal jumlah anak usia wajib belajar yang bersekolah, sedangkan mutu pendidikan dasar masih minim.

Padahal, soal sarana dan prasarana pendidikan di setiap sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran itu sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tentang standar nasional sarana dan prasarana. Peraturan ini memberi arah soal keberadaan perpustakaan di setiap sekolah.

Artikel 3:

Program Pengelolaan Pendidikan Dasar (MBE)

MBE, adalah singkatan dari Managing Basic Education atau Program Pengelolaan pendidikan dasar. Program yang didukung oleh USAID ini bertujuan meningkatkan kemampuan SDM di tingkat Kabupaten/Kota (Daerah) agar mampu mengelola pendidikan dasar. MBE adalah suatu bagian dari program USAID yang lebih luas dalam meningkatkan kemampuan SDM Pemerintah Daerah. Pendidikan dasar dipilih sebagai fokus program ini dengan alasan bahwa sektor ini adalah bagian terbesar yang dikelola oleh Daerah. Selain itu, Pendidikan dasar adalah kunci pembangunan sosial dan ekonomi, baik untuk masa kini maupun masa depan. Program ini dikelola oleh konsultan RTI (Research Triangle Institute).
Program ini diutamakan bekerja di tingkat kabupaten/kota, dengan mengembangkan praktek-praktek yang baik yang sudah ada dan mendorong pengembangan dan diseminasi praktek yang baik tersebut dan gagasan-gagasan lain di tingkat kabupaten/kota. Praktek ini meliputi:
1) Fasilitas dan Pengelolaan Pegawai
2) Pendanaan Sekolah
3) Manajeman Berbasis Sekolah (MBS) dan Peran Serta Masyarakat (PSM)
4) Proses Belajar Mengajar.

Artikel 4

Realisasi Pendidikan Dasar

Tanpa Pemungutan Biaya

Pendidikan gratis terus dilaksanakan berbagai pihak agar program wajib belajar minimal tingkat dasar dapat terus terlaksana, mengingat program tersebut merupakan tanggung jawab negara, maka pemerintah terkait wajib menjamin terlaksananya program ini.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Bambang Sudibyo, selaku Mendiknas, "Berdasarkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional atau Sisdiknas yang bernomor 20/2003, maka jaminan akan pendidikan dasar gratis dapar terealisasi, namun tentunya harus disesuaikan dengan APBD daerah masing-masing sehingga penyelenggaraan progam tersebut mempunyai batasan," ujar Bambang Sudibyo, di Semarang, Selasa (17/2).

Pendidikan tanpa dipungut biaya, pelaksanaannya telah merata dan menjangkau sekolah negri dan sekolah swasta di Jawa Barat dan Kalimantan Timur, namun untuk di Jakarta untuk sekolah negri sendiri masih dibatasi.

Bambang juga menjelaskan, bahwa, dalam hal ini Pemda juga harus turut andil untuk mengendalikan pungutan biaya operasional di SD, SMP swasta agar bagi pawa siswa/siswi yang kurang mampu dibebaskan dari pungutan, sehubungan dengan adanya kenaikan Biaya Operasional Sekolah yang mulai terjadi pada bulan Januari 2009.

Tentunya kebijakan akan keringanan tersebut juga berlaku bagi siswa yang mampu, misalnya dengan tidak adanya pungutan berlebih, namun hal tersebut tidak berlaku bagi sekolah bertaraf internasional.

Artikel 5:

Desentralisasi Pendidikan Dasar

Program Desentralisasi pendidikan dasar ialah program kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat. Program ini merupakan payung kerjasama antara Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) dan USAID.
Tujuan dari program ini ialah peningkatan kualitas pendidikan dasar di Indonesia melalui tiga komponen kegiatan yang saling berintegrasi, yaitu:

1) desentralisasi manajemen dan tata pelayanan pendidikan yang lebih efektif (DBE1),

2) peningkatan kualitas belajar mengajar (DBE2),

3) peningkatan relevansi pendidikan menengah dan pendidikan luar sekolah melalui kecakapan hidup dan keterampilan vokasional (DBE3).

Area yang dicakup Program Desentralisasi pendidikan dasar USAID/Indonesia (Program DBE) ialah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Banten, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. Program ini berlangsung mulai tahun 2005 sampai 2010 dan diharapkan akan membantu meningkatkan pendidikan untuk lebih dari 2.400 sekolah dan lebih dari 250 ribu siswa di 100 kabupaten/kota.

Pendidikan Menengah

Artikel 1:

Pendidikan Menengah Umum

Program-program yang ditawarkan dan langsung ditangani secara terpusat oleh Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim pada Bidang Dikmenum melalui program Peningkatan Mutu Pembelajaran secara umum dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu:

1) pemerataan dan perluasan akses,

2) mutu, relevansi dan daya saing, serta

3) governance, akuntabilitas dan pencitraan public.

Bagian berikut akan mendiskripsikan masing-masing program tersebut.

A. Pemerataan dan Perluasan Akses

Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dicanangkan pada tahun 1994 dan diharapkan dapat tuntas pada tahun 2003/2004. Namun, krisis multidimensi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 menyebabkan target tersebut tidak dapat tercapai. Target penuntasan Wajar yang bermutu disesuaikan dari 2003/2004 menjadi 2008/2009. Permasalahan yang masih perlu penanganan bersama diantaranya adalah :

  • Jumlah anak usia 13 – 15 tahun yang belum mendapatkan layanan pendidikan pada tahun 2005 masih cukup tinggi, yaitu sekitar 1,9 juta.
  • Angka Partisipasi Kasar SMP dari 118 kabupaten/kota di Indonesia masih di bawah 75%
  • Angka putus SMP masih sebesar 2,74 % (272.000 anak) yang dimungkinkan disebabkan karena faktor kemiskinan (jumlah keluarga miskin di Indonesia tahun 2005 mencapai 17%).
  • Peran Pemda dalam penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun masih rendah
  • Adanya kesenjangan budaya dan kesetaraan gender
  • Sarana dan prasarana pendidikan kurang memadai.

Beberapa permasalahan di atas memerlukan penyelesaian yang berbeda-beda. Agar semakin banyak anak usia 13 – 15 tahun dapat melanjutkan pendidikan di jenjang SMP salah satu upayanya adalah meningkatkan daya tampung pada jenjang SMP.

Adapun program-program yang ditawarkan Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim Pembinaan SMP dalam kelompok ini mencakup : unit sekolah baru (USB), pembangunan ruang kelas baru (RKB), SMP Terbuka, Beasiswa SMP Terbuka, sosialisasi penuntasan Wajib Belajar dan SD-SMP Satu Atap. Ringkasan informasi masing-masing program tersebut sebagai berikut.

  1. Unit Sekolah Baru (USB)
  2. Pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB)
  3. SMP Terbuka
  4. Sosialisasi Penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun
  5. Pengembangan SD SMP Satu Atap

B. Mutu, Relevansi dan Daya Saing

Beberapa tantangan yang dihadapi dalam peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan SMP diantaranya :

  • Walaupun nilai rata UAN SMP Nasional tahun 2004/2005 sebesar 6.28, masih ada 4.703 SMP atau 21.47% SMP yang pencapaiannya di bawah 5,5.
  • Prestasi non akademik masih minimal
  • Angka mengulang kelas masih cukup tinggi, yaitu sebanyak 31.154 pada tahun 2005.
  • Proses pembelajaran belum bermutu.

Dalam rangka peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim Pembinaan Sekolah Menengah Pertama akan melaksanakan beberapa program yang dikoordinir adalah : .

  1. Pembelajaran Kontekstual
  2. Sosialisasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
  3. Pendidikan Teknologi Dasar (PTD)
  4. Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills)
  5. Pembelajaran Bilingual
  6. Program Matrikulasi/Bridging Course
  7. Program Kesiswaan
  8. Widyakrama
  9. Pembinaan Sekolah
  10. Regional Education Development and Improvement Program-Government (REDIP-G)
  11. Pembangunan Ruang Penunjang Pembelajaran Lain (RPL)

C. Governance, Akuntabilitas dan Pencitraan Public

Dalam rangka mengawal program-program yang akan diimplementasikan, Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim Pembinaan SMP melakukan berbagai upaya baik di tingkat pusat maupun di level sekolah untuk membuat agar program-program itu benar-benar mencapai sasaran dan akuntabel.

Di tingkat pusat, program yang dilaksanakan untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan yang bersih dan akuntabel adalah pengembangan Sistem Informasi Manajemen Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim Pembinaan SMP. Sedangkan untuk di level sekolah, Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim Pembinaan SMP menekankan implementasi Manajemen Berbasis Sekolah pada seluruh Sekolah Menengah Pertama. Di samping itu, Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim Pembinaan SMP juga melaksanakan berbagai program yang sifatnya mengantar, membina atau melakukan supervise dan memonitor kegiatan di lapangan. Bagian berikut, akan mendiskripsikan ketiga kelompok kegiatan itu.

  1. Pengembangan SIM Direktorat Pembinaan SMP
  2. Manajemen Berbasis Sekolah
  3. Monitoring dan Evaluasi Independen
  4. Program-program lain.

Artikel 2:

Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis TIK Diluncurkan

Semakin majunya era teknologi informasi dan komunikasi membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berpikir keras agar pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tidak ketinggalan. Karenanya, Pemprov DKI mencanangkan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Jakarta di dalam pendidikan SMA dan SMK Negeri. Pencanangan komunitas ini diluncurkan langsung Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta melalui pesan singkat kepada seluruh kepala sekolah yang hadir di Balai Agung, Selasa (14/10).

Kemudian Fauzi Bowo diberikan sebuah spidol oleh ROCI buatan seorang pelajar SMA Negeri di Jakarta. Spidol itu dipakai gubernur untuk menandatangi plakat yang disediakan Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta. Setelah peluncuran ini, artinya pelajar SMA dan SMK DKI tidak ketinggalan dengan negara maju dan berkembang lainnya. Seperti di Korea Selatan telah ada Cyber Korea 2001, Jepang dengan e-Japan Priority Program, Malaysia dengan Smart School dan negara-negara Eropa yang membangun e-Europe.

Meski baru diluncurkan sekarang, sebenarnya kegiatan pendidikan berbasis TIK telah diawali dengan berbagai kegiatan sejak 2003 antara lain pelaksanaan sistem software administrasi sekolah (SAS) offline dan online pada 2004 dan 2006, dan pemberian fasilitas kepemilikan laptop bagi guru pada 2006. Selain itu penambahan perangkat dan jaringan terus dilakukan. Hingga saat ini seluruh SMA/SMK negeri dan lebih dari 70 persen sekolah swasta sudah tersambung dengan jaringan internet.

Komputer yang terhubung ke internet lebih dari 10 ribu unit, dan 100 sekolah terpasang hotspot, 200 ruang guru dilengkapi LCD. Sedangkan guru yang telah memiliki laptop ada sekitar 7 ribu guru. AKhir tahun ini diharapkan seluruh SMA/SMK swasta sudah terhubung ke jaringan internet. Saat ini, terdapat 116 SMA negeri, 62 SMK negeri, 346 SMA swasta, dan 606 SMK swasta. Seluruh SMA dan SMK Negeri, komputernya telah terkoneksi dengan jaringan internet. Sedangkan untuk SMA dan SMK swasta baru, 60 persen terkoneksi dengan jaringan internet. Saat ini hanya ada 200 ruang kelas yang memakai LCD Projector dari puluhan ribu kelas di SMA dan SMK negeri dan swasta di Jakarta.

Fauzi Bowo Gubernur DKI Jakarta menekankan, pemanfaatan TIK untuk SMA dan SMK baik negeri maupun swasta, harus diarahkan untuk peningkatan dan perluasan kesempatan belajar, peningkatan mutu pendidikan dan daya saing, serta peningkatan akuntabilitas dan citra publik. “Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi,” katanya dalam acara Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Prov DKI Jakarta di Balai Agung, Selasa (14/10).

Karena, murid-murid SMA dan SMK harus siap menjadi basis pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan di masa mendatang. Sebab dengan TIK, secara langsung telah memengaruhi cara belajar siswa untuk mengolah berbagai informasi dari berbagai tempat. “Program ini bertujuan meningkatkan sektor informasi TIK terutama di bidang pendidikan yang akan menjadi kunci sukses negara di masa depan,” ujar dia. Hingga tahun ini, di DKI Jakarta telah ada 10 ribu komputer sekolah telah terhubung internet. Sejumlah sekolah telah dilengkapi dengan wi-fi dan hotspot.

Kendati demikian, terang mantan Wakil Gubernur era Sutiyoso ini, 30 persen SMA masih memiliki sistem komputer yang out of date dan perlu di-upgrade. 30 persen SMA dan SMK telah memiliki laboratorium komputer, tetapi 15 persen diantaranya laboratorium komputernya sangat minim sarananya.

Sementara itu, Margani Mustar, Kepala Dikmenti DKI menyatakan, pencanangan komunitas berbasis TIK ini merupakan upaya untuk membangun kultur yang memotivasi siswa agar mampu mandiri dalam berpikir dan belajar. Pencanangan ini merupakan wujud kolaborasi antara dinas pendidikan menengah dan tinggi, sudin dikmenti, sekolah, telkom, microsoft, oracle education foundation, one`s beyond dan yayasan yang berkecimpung dibidang pendidikan lainnya. “Target ke depan, setiap kelas ada LCD Projector dan komputer. Kemudian ada ruangan khusus untuk multimedia dan local area networking untuk memungkinkan pembelajaran online siswa se-Jakarta,” harap Margani.

Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bukan untuk menghilangkan sisi humanisme para siswa, melainkan hanya untuk pembangunan kultur pemanfaatan TIK. Untuk mewujudkan masyarakat yang berpengetahuan, maka masyarakat harus selalu dapat mengakses informasi. Dengan tersedianya infrastruktur TIK, sekolah harus membentuk jejaring antar institusi pendidikan agar dapat saling menukar pengetahuan dan sumber daya.

Artikel 3:

Dirjen Pendidikan Dasar Menengah Tetapkan SMA Negeri 1 Tebingtinggi Sekolah Bermutu Internasional

Dirjen Pendidikan Dasar Menengah pada tahun 2007 telah menetapkan SMA Negeri 1 Kota Tebingtinggi sebagai Sekolah Bermutu Internasional (SBI).
Demikian dikatakan Kepala SMA Negeri 1 Kota Tebingtinggi Drs Bahtera Sembiring MPd kepada SIB, Selasa (10/7). Ditetapkannya SMA Negeri 1 menyandang SBI karena telah mampu melaksanakan program sekolah bermutu internasional yang mendapat dukungan penuh dari walikota dan Kadis P dan K.
Selain itu, kriteria yang ditetapkan untuk dapat menyandang SBI yakni SDM, sarana dan prasarana serta kurikulum sekolah telah dipenuhi dan dilaksanakan di SMA Negeri 1 Tebingtinggi.
Namun kata Bahtera Sembiring, walaupun SMA Negeri 1 telah ditetapkan berstandar SBI akan tetapi baru hanya untuk 2 kelas. “Kita harapkan hasil tes khusus untuk 60 siswa berupa physicotest dan Bahasa Inggris dapat menaikkan jumlah kelas berstandart SBI, papar Sembiring sembari menyebutkan harus mencapai 100 orang.
Disamping telah menyandang sekolah berstandart SBI, SMA Negeri 1 Tebingtinggi juga merupakan sekolah binaan khusus yang mendapat perhatian penuh dari walikota dan Kadis P dan K. SMA Negeri 1 menjadi salah satu sekolah yang diincar para siswa dan orang tua murid.

Artikel 4:

Dinas Pendidikan Menengah Dinilai Boros

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 56 penyimpangan sebesar Rp 25,984 miliar di Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta. Itu baru hasil pemeriksaan BPK pada semester kedua 2005, khusus kinerja Dinas pada tahun anggaran 2004.
Anggota BPK Baharuduin Aritonang mengatakan, BPK telah mengeluarkan rekomendasi untuk setiap kasus yang ditemukan. Termasuk rekomendasi itu adalah pemberian sanksi kepada petugas yang terlibat dan pengembalian uang ke kas negara.
BPK telah melaporkan semua temuan itu ke Dewan Perwakilan Rakayat Daerah (DPRD) DKI Jakarta. "Kami sudah laporkan. Selanjutnya Dewan yang harus mengejar," kata Baharudin.
BPK membagi penyimpangan di Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi ke dalam dua kategori. Pertama, penyimpangan terhadap azas kehematan. Jumlahnya mencapai 33 kasus dengan nilai pemborosan sekitar Rp 5,713 miliar.
"Sebesar Rp 3,338 miliar tergolong merugikan keuangan negara," tulis BPK dalam dokumen laporan yang diterima Tempo.
Termasuk dalam kategori pemborosan, misalnya, pembayaran ganda ganda akomodasi dan konsumsi pada loka karya peningkatan mutu SMA sebesar Rp Rp 437 juta, proyek pengadaan buku pelajaran dan perpustakaan kemahalan sekitar Rp 954 juta, dan pengadaan program Pesona Fisika dan Multimedia untuk SMA yang tidak sesuai aturan sebesar Rp 1,272 miliar.
Jenis temuan kedua adalah penyimpangan yang mengakibatkan tak tercapainya tujuan program. Jumlahnya ada 33 kasus dengan nilai penyimpangan sekitar Rp 20,271 miliar. Dari jumlah itu, yang dianggap merugikan keuangan negara sekitar Rp 191 juta.
Jadi, menurut BPK, Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta paling tidak harus mengembalikan uang ke kas negara sebesar Rp 3,529 miliar.

Kepala Dinas Pendidikan Menengah Tinggi DKI Jakarta Margani M Mustar membantah ada penyimpangan di lembaganya. "Tak ada penyimpangan, tak ada kerugian negara," kata Margani kepada Tempo di kantornya, Jumat (2/6) malam.

Awalnya, kata Margani, Dinas menyambut baik keinginan BPK memeriksa. "Kami senang, karena kami pikir akan mendapatkan feed back." Tapi, kata Margani, saat pemeriksaan itu berakhir, "Kami kecewa dengan hasil pemeriksaan BPK."

Menurut Margani, temuan BPK-lembaga audit tertinggi negara-itu bertentangan dengan temuan Badan Pengawasan Daerah yang juga memeriksa Dinas Pendidikan Menengah pada periode yang sama, Lembaga audit tingak provinsi itu, kata Margani, sama sekali tak menemukan penyimpangan.

Meski begitu, Dinas Pendidikan Menengah kini tengah meneliti ulang temuan BPK. Termasuk yang diteliti itu temuan pembayaran ganda akomodasi dan konsumsi workshop peningkatan mutu SMA.

"Kami heran mengapa kasus itu masih dipublikasi. Kami sebelumnya telah memberi tanggapan, itu sesuai anggaran dalam daftar isian proyek." Jika dalam penelitian ulang temuan BPK tidak terbukti, kata Margani, "Dinas tak akan mematuhi rekomendasi BPK."

Artikel 5:

Kualitas Pendidikan Tingkat Menengah Sangat Memprihatinkan

Masyarakat luas di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, awal Mei 2005 ini geger sehubungan dengan pengumuman hasil uji coba ujian nasional tingkat SMP tahun ajaran 2004/2005. Hasil uji coba ujian nasional yang menggunakan dasar Kurikulum 1994 sebagai acuan kompetensi menunjukkan, dari 43 SMP peserta tes hanya 4 SMP saja yang lulus ujian. Artinya, nilai rata-rata di 4 SMP tersebut berada di atas ambang kelulusan yang dipatok pemerintah, yakni 4,25. Sementara nilai rata-rata 39 SMP lain berada di bawah ambang batas kelulusan.

Meskipun sebuah SMP dinyatakan lulus, bukan berarti semua siswa di sekolah tersebut lulus uji coba. Begitu juga sebaliknya. Ketidaklulusan sekolah dapat dibaca dari mayoritas siswa di sekolah tersebut yang nilai tesnya di bawah ambang batas kelulusan.

Uji coba di Kudus dilaksanakan 18-21 April 2005, diikuti sekitar 6.000 siswa kelas III dari 43 SMP. Ada enam mata pelajaran yang diujikan, yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Materi uji coba disiapkan oleh Musyarawah Guru Mata Pelajaran (MGMP) setempat dengan mengacu dasar-dasar kompetensi yang dipatok pemerintah.

Perhitungan secara kasar dari 6.000 siswa peserta tes, jika ada 39 sekolah tidak lulus, artinya jumlah siswa yang gagal menembus patokan pemerintah (angka 4,25) diperkirakan mencapai 5.000 anak lebih. Mengingat Kabupaten Kudus termasuk daerah maju dan berada di Pulau Jawa, bagaimana dengan hasil-hasil tes di lain tempat terutama di luar Pulau Jawa?

Pelaksanaan uji coba bertujuan memetakan kesiapan siswa menjelang ujian nasional sesungguhnya yang akan dilaksanakan 6-8 Juni 2005. Guna menjamin validitas hasil, uji coba dikoreksi dengan sistem optical mark reader (OMR) di Lab Komputer Lembaga Pendidikan Mandiri Semarang. Para siswa mengerjakan soal dengan lembar jawaban komputer (LJK) sehingga saat ujian sesungguhnya tidak akan canggung.

Keempat sekolah yang dinyatakan lulus terdiri 3 SMP negeri dan 1 SMP swasta. Mereka adalah (berdasarkan peringkat) SMP Negeri 2 Kudus, SMP Keluarga, SMP Negeri 1 Jekulo, dan SMP Negeri 1 Gebog (lihat tabel 1). Dari 46 SMP di Kudus, hanya tiga sekolah tidak ikut uji coba tertulis, yaitu SMP Negeri 1 Kudus, SMP Negeri 1 Jati, dan SMP Negeri 3 Bae, yang beruji coba sendiri menggunakan metode contextual teaching learning (CTL) .

Meski hasil tes amat buruk, kalangan birokrasi Departemen Pendidikan Nasional dan penanggung jawab uji coba justru menyalahkan materi tes yang katanya dibuat sulit. Menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Provinsi Jateng Suwilan Wisnu Yuwono, hasil uji coba ujian nasional tidak bisa dijadikan ukuran kelulusan. "Biasanya soal untuk uji coba dibuat sulit untuk merangsang siswa agar nilai ujian nasional bisa bagus," ujar Suwilan (Kompas edisi Jateng, 21 Mei 2005).

Menarik untuk disimak apakah memang benar materi uji coba di Kudus dibuat jauh lebih sulit dibandingkan dengan ujian nasional yang diadakan pemerintah pusat? Jika memang benar uji coba dibuat sulit, lantas di mana posisi ujian nasional yang menelan biaya tidak sedikit itu? Mengingat tes uji coba juga menggunakan spesifikasi butir soal sesuai dengan standar kompetensi lulusan, bukankah berarti kualitas pendidikan tingkat menengah secara nasional (diwakili hasil di Kudus) tercermin dari hasil tes tersebut?

Peraturan Mendiknas Nomor 1 Tahun 2005 tentang ujian nasional tahun ajaran 2004/2005, Pasal 3, disebutkan, ujian nasional bertujuan untuk mengukur dan menilai kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi peserta didik pada mata pelajaran yang ditentukan dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan. Perlu diingat, untuk tahun ajaran 2004/2005 ini, peserta didik dinyatakan lulus ujian nasional apabila memiliki nilai lebih dari 4,25 untuk setiap mata pelajaran yang diujikan (Pasal 14 Ayat 1).

Akan tetapi, standar kelulusan 4,25 sebenarnya tidak baku. Karena Pasal 14 Ayat (2) disebutkan, pemerintah daerah dan atau satuan pendidikan dapat menetapkan batas kelulusan di atas nilai sebagaimana dimaksud pada Ayat (1). Artinya, masing-masing satuan pendidikan (sekolah) diberi kewenangan untuk menetapkan tingkat kelulusan asal tidak boleh di bawah patokan pemerintah, yakni 4,25.

Konsekuensi dari Pasal 14 Ayat (1) di atas kelulusan peserta didik ditentukan dari 12 mata pelajaran yang diujikan. Dari 12 mata pelajaran tadi, tiga di antaranya, yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika, materi soalnya ditentukan pusat, sementara sembilan mata pelajaran lain, materi soal dikelola daerah atau sekolah masing-masing.

Dalam kasus uji coba di Kudus, enam materi tes semua disiapkan pihak MGMP, yang berarti tingkat validitas hasil lebih mencerminkan kualitas pendidikan peserta didik. Pihak sekolah sama sekali tidak dilibatkan dan tidak mengetahui spesifikasi butir soal yang akan keluar tes.

Validitas akan tampak jika menyoroti jumlah kegagalan sekolah lulus ujian dilihat dari hasil per mata pelajaran (lihat tabel 2). Ternyata ditemukan bukti kegagalan sekolah bukan karena hasil satu mata pelajaran saja. Bahkan, sejumlah sekolah gagal di lima mata tes uji coba. Yang menarik, dari enam mata pelajaran tes uji coba, hanya mata pelajaran PPKn yang berhasil meloloskan 43 sekolah (lihat tabel 3), sementara yang gagal lulus terbanyak di 39 SMP disebabkan karena mata pelajaran Matematika.

Jika mau jujur, tingkat validitas kualitas pendidikan tidak tercermin dari hasil tes sesungguhnya. Bukan rahasia lagi tes ujian yang diadakan sekolah atau daerah hampir dapat dipastikan peserta didik akan lulus. Tanpa bersusah payah dan tanpa belajar pun tidak akan ditemui cerita seorang siswa gagal ujian.

Dari pengalaman selama ini, tes yang diadakan sekolah atau daerah penuh hasil rekayasa. Ada tiga sistem menilai hasil tes siswa, yaitu sistem silang penuh, setengah silang, dan terakhir dinilai 2 guru sekolah sendiri. Sistem silang penuh hasil tes dinilai 2 orang guru lain sekolah. Sistem setengah silang, hasil tes dinilai 1 guru sendiri dan 1 guru lain sekolah. Hasil penilaian 2 guru dimasukkan lembar bantu lalu "dikawinkan" untuk kemudian diperoleh hasil akhir masing-masing siswa.

Jika ditemukan ada siswa nilainya berada di bawah ambang batas kelulusan, nilai tersebut "didongkrak" sehingga akhirnya dapat lulus ujian. Nilai "dongkrak" itu biasanya diputuskan melalui mekanisme rapat antarsekolah. Alhasil, nilai hasil ujian nasional yang diadakan sekolah atau daerah hampir dipastikan selalu lolos ambang batas kelulusan. Mengapa ketidakjujuran itu selalu berlangsung saban tahun? Jawabnya mudah. Pengambil kebijakan sendiri (baca: pejabat teras Depdiknas) juga berlaku tidak jujur dan membiarkan kecurangan tersebut terjadi.

Dari kajian sederhana ini dapat ditarik kesimpulan, banyak pihak belum mampu mandiri. Orangtua ingin selalu anaknya lulus ujian, guru juga belum punya keberanian. Pihak sekolah selalu bangga mampu lulus 100 persen. Pejabat terkait sama juga, selalu minta anak buahnya mampu meloloskan sebanyak mungkin. Meski untuk cara itu ditempuh beragam rekayasa.

Dibutuhkan keberanian untuk merombak sistem yang ada. Sistem penilaian komputer yang dikelola pusat sudah barang tentu tidak luput dari rekayasa. Hasil yang diperoleh siswa bukan melalui proses belajar-mengajar, namun bergantung pada programer. Memang untuk maju butuh keberanian dan kejujuran. Hasil uji coba di Kudus membuka mata kita bahwa kualitas pendidikan tingkat menengah sudah amat buruk.

Pendidikan Tinggi

Artikel 1:

Benahi Manajemen Pendidikan Tinggi

Persoalan seleksi bagi mahasiswa baru yang akan memasuki perguruan tinggi negeri menjadi sebuah persoalan baru. Kabar bahwa sebagian besar PTN yang sebelumnya bergabung ke dalam satu sistem itu kemudian memilih melakukan sendiri seleksi dan penerimaan mahasiswa barunya, mengemuka. Akhirnya memang belum diputuskan bagaimana mengatasi hal tersebut. Titik krusialnya adalah bagaimana supaya calon mahasiswa dapat memilih PTN yang diminatinya tanpa harus berada di tempat PTN tersebut berada. Memang pengelolaan pendidikan tinggi tidak mudah. Tetapi seleksi untuk memasuki PTN barulah satu masalah dari sekian banyaknya masalah yang mendera pendidikan tinggi kita.

Salah satu masalah mendasar yang belum juga dipecahkan adalah bagaimana menciptakan lulusan yang bisa memasuki pasar kerja, tanpa harus menganggur. Angka pengangguran bagi lulusan perguruan tinggi memang masih cukup tinggi. Setiap tahunnya terdapat 4 jutaan lulusan perguruan tinggi yang memasuki pasar kerja, sementara hanya sedikit saja lapangan kerja yang terbuka bagi mereka.

Dulu pemerintah pernah punya konsep link and match. Konsep ini dikembangkan oleh mantan Menristek BJ Habibie berdasarkan pengalaman pengelolaan pendidikan di Jerman. Konsep ini menggunakan logika demand and supply. Pendidikan tinggi tidak dikelola demikian rupa seperti sekarang ini dimana semua jurusan dibuka, bahkan jurusan yang dibuka lebih banyak daripada yang ditutup. Mereka yang memasuki pendidikan tinggi diberikan nilai tambah sehingga ketika lulus mereka siap untuk bekerja pula.
Hanya sayangnya, konsep ini kemudian dimentahkan oleh perubahan politik. Konsep yang dulu pernah menjadi sangat populer itu kemudian hilang begitu saja dan pendidikan tinggi kita terjebak ke dalam fenomena industrialisasi pendidikan tinggi. Maksudnya adalah pendidikan tinggi dijadikan sebagai alat mencetak sebanyak mungkin lulusan karena dianggap sebagai upaya mencerdaskan bangsa, sementara keterkaitannya dengan pasar kerja sama sekali tidak pernah dipikirkan.

Yang kemudian terjadi adalah, dan ini juga merupakan masalah besar, pada mahalnya biaya pendidikan. Semakin lama semakin terlihat bahwa upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa berjalan tidak sebanding dengan harapan kita mengenai tercapainya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan.

Di setiap PTN sekarang ada berbagai kelas yang sangat variatif, dan terkadang membedakan kemampuan calon mahasiswanya. Perbedaan itu ditengarai menjadi pemicu perbedaan kualitas pendidikan. Yang paling parahnya, mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk menikmati pendidikan tidak memiliki kesempatan melalui skema subsidi silang yang banyak diberikan oleh PTN. PTN tidak sanggup mendanai mereka yang tidak memiliki uang, terlebih PTN yang telah menjadi BHMN.

Akumulasi persoalan pendidikan, sejak dari seleksi sampai dengan outputnya kita kuatirkan akan menciptakan efek domino yang kelak akan menghasilkan gelombang pengangguran intelektual. Mereka yang berpendidikan tetapi tidak bekerja jelas lebih “berbahaya” dibandingkan dengan mereka yang tidak.

Skema Coorporate Social Responsibility (CSR) yang sudah mulai dijalankan oleh beberapa perusahaan sebenarnya bisa divariasikan dengan mempekerjakan para lulusan pendidikan tinggi. Perusahaan yang juga memiliki CSR bisa menjadikan lulusan perguruan tinggi sebagai bagian dari komitmen mereka mengatasi masalah sosial di wilayahnya. Yang paling penting, membenahi tujuan, arah dan pola pengelolaan pendidikan tinggi kita adalah sebuah pekerjaan rumah yang harus dikerjakan segera.

Artikel 2:

Industri Pendidikan Tinggi

Biaya pendidikan tinggi yang selama ini sudah amat mahal dikhawatirkan bertambah mahal karena pengelola perguruan tinggi yang didorong motif ekonomi dan mengikuti hukum pasar akan menjadikan pendidikan tinggi sebagai barang komersial, sama seperti barang dagangan lain dalam suatu transaksi perniagaan.

Lazimnya transaksi perniagaan, pertimbangan untung-rugi merupakan faktor penentu dalam pengelolaan perguruan tinggi. Jika pendidikan tinggi sudah menjadi barang komersial berharga mahal, sudah pasti hanya masyarakat kaya yang mampu menjangkaunya. Masyarakat miskin akan kian sulit mendapat akses ke layanan pendidikan tinggi karena keterbatasan kemampuan finansial.

Maka, hak dasar setiap warga negara untuk mendapat pendidikan bermutu sampai ke tertiary education menjadi kian sulit dipenuhi, terlebih karena sejauh ini kemampuan pemerintah dalam melindungi kelompok miskin melalui aneka instrumen kebijakan masih belum memadai.

Padahal, tiga isu besar yang bersifat eternal yaitu affordability, accessibility, accountability, justru merupakan persoalan utama yang harus mendapat perhatian khusus dan harus ditangani serius oleh para perumus kebijakan dan pengelola perguruan tinggi (lihat Donald Heller, The States and Public Higher Education Policy, 2003).

Kehadiran UU BHP sejatinya hanya penegasan belaka atas kenyataan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia telah berkembang menjadi industri. Di negara-negara maju, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia, pendidikan tinggi memang merupakan lahan industri strategis yang menjadi bagian dari dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan.

Di negara-negara itu, industri pendidikan tinggi tumbuh pesat seperti industri jasa dan perdagangan yang lain. Lihat sentra- sentra industri pendidikan tinggi dunia yang sungguh memikat, seperti Boston, New York, California; Toronto, British Columbia; London, Manchester, Cambridge; atau Sydney, Melbourne, Canberra. Perkembangan industri pendidikan tinggi menuju komersialisasi pun tak terbendung, ditandai proses kapitalisasi ilmu pengetahuan terutama ketika pertumbuhan ekonomi digerakkan iptek, knowledge and technology driven economic growth.

Komersialisasi pendidikan tinggi umumnya didorong tiga motif utama.

Pertama, hasrat mencari uang dan dukungan finansial serta keinginan menggali sumber-sumber pembiayaan alternatif, yang ditempuh melalui apa yang di kalangan universitas Amerika/ Eropa disebut an offer of generous research funding in exchange for exclusive patent licensing rights.

Kedua, peluang mengembangkan (baca: menjual) program pendidikan jarak jauh untuk memperoleh keuntungan finansial sebagaimana yang sudah lazim dilakukan di perguruan tinggi di Indonesia.

Ketiga, mendapatkan aneka kontrak yang menguntungkan dengan perusahaan/industri melalui pemberian dana, fasilitas, peralatan, bahkan seragam olahraga sebagai imbalan mendapatkan atlet-atlet bertalenta, yang mensyaratkan mereka mengenakan logo perusahaan pemasok dana bagi perguruan tinggi.

Namun, industri pendidikan tinggi yang mengarah ke komersialisasi ini mengandung bahaya bagi perguruan tinggi bersangkutan. Derek Bok dalam Universities in the Marketplace: The Commercialization of Higher Education (2005) mencatat sejumlah bahaya yang patut diwaspadai.

Pertama, bila godaan mencari keuntungan finansial melalui aneka kontrak dari perusahaan/ industri tak terkendali dan tak dikelola dengan baik, hal itu akan menggiring perguruan tinggi melupakan misi suci (sacred mission) yang harus diemban, yakni melahirkan insan-insan terdidik dan berkeahlian, yang menjadi basis bagi ikhtiar membangun masyarakat beradab dan pilar utama upaya pencapaian kemajuan bangsa.

Kedua, bila sekadar terobsesi oleh motif ekonomi semata, perguruan tinggi akan cenderung mengabaikan fungsi utama sebagai lembaga produsen ilmu pengetahuan, pelopor inovasi teknologi, serta pusat eksperimentasi dan observatorium bagi penemuan-penemuan baru. Padahal, peran hakiki perguruan tinggi adalah the center of knowledge inquiries and technology innovations, yang bukan saja penting untuk memperkuat institusi perguruan tinggi sendiri sebagai pusat keunggulan dan penelitian, tetapi juga akan memberi kontribusi pada ikhtiar membangun peradaban umat manusia.

Ketiga, konflik kepentingan antara dua hal yaitu menggali sumber pembiayaan dan mengembangkan iptek melalui riset ilmiah. berpotensi mengorbankan core academic values karena perguruan tinggi cenderung berkompromi antara pilihan menjaga standar mutu program akademik dan tuntutan mendapatkan dukungan finansial dari perusahaan/industri.

Merujuk pada sejumlah kekhawatiran itu, kehadiran UU BHP bisa menjadi pedang bermata dua.

Pertama, memberi landasan hukum bagi universitas/institut untuk secara kreatif mencari alternatif sumber pembiayaan bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi dan meningkatkan efisiensi/efektivitas manajemen perguruan tinggi guna meningkatkan kualitas program akademik.

Kedua, dapat memicu komersialisasi melalui aneka kontrak bermotif ekonomi dengan perusahaan/industri yang berpotensi menggerus fungsi esensial perguruan tinggi sebagai Maison des sciences de l’homme.

Untuk itu, kewaspadaan dan kehati-hatian dari semua stakeholder sangat diperlukan dalam melaksanakan UU BHP agar tidak memunculkan ekses negatif yang justru kontraproduktif bagi upaya memajukan perguruan tinggi di Indonesia.

Artikel 3:

Kondisi Pendidikan Tinggi Di Indonesia

Undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa perguruan tinggi dapat berbentuk Akademi, Politeknik, Sekolah Tinggi, Institut, atau Universitas. Pendidikan tinggi ini dapat diselenggarakan oleh Pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Perguruan Tinggi Negeri-PTN), departemen atau lembaga pemerintah yang lain (Perguruan Tinggi Kedinasan-PTK), atau oleh masyarakat (Perguruan Tinggi Swasta-PTN). Di seluruh Indonesia saat ini terdapat 77 Perguruan Tinggi Negeri yang diselenggarakan di lingkungan Depdikbud, yang terdiri dari 2 Akademi, 26 Politeknik, 4 Sekolah Tinggi, 10 IKIP, 4 Institut, dan 31 Universitas. Ke 77 PTN ini menampung 475.988 mahasiswa (tahun ajaran 1996/1997).

Perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat (PTS) berjumlah 1.293, yang terdiri dari 407 Akademi, 9 Politeknik, 571 Sekolah Tinggi, 44 Institut, dan 262 Universitas. Jumlah mahasiswa PTS untuk tahun ajaran 1996/1997 tercatat 1.448.775 orang.

Dari keseluruhan jumlah mahasiswa yang tercatat pada tahun 1996/1997 sebanyak 1.924.763 orang, terlihat bahwa daya tampung perguruan tinggi swasta (75.27%) sudah 3 kali lipat dari daya tampung perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah (24.73%). Hal ini menunjukkan bahwa peran serta masyarakat/swasta dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi harus sangat diperhitungkan. Apalagi kemampuan pertumbuhan daya tampung PTS juga sangat tinggi. Selama dasawarsa terakhir (1986-1996) terjadi peningkatan jumlah PTS hampir 2 kali lipat, yaitu 665 PTS pada tahun 1986 menjadi 1.293 PTS pada tahun 1996.

Artikel 4:

Kemajuan Pendidikan Tinggi, Sebuah Mimpi?

Menarik sekali menyimak pernyataan Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Dr Joko Santoso baru-baru ini yang mengutarakan soal dua area hakekat fundamental pendidikan tinggi. Kedua area itu adalah kompetensi keilmuan dan kegunaan. Diuraikan sang rektor bahwa kompetensi keilmuan merupakan syarat perlu bagi solusi pengembangan pendidikan jangka panjang, sedangkan kompetensi kegunaan adalah syarat mutlak untuk pembangunan infrastruktur pendidikan berjangka pendek. Tanpa bermaksud mengkritik ataupun mewakili, bagi Bangsa Indonesia, pernyataan di atas pada dasarnya masih sebatas input semata atau mungkin orang akan setuju menyebutnya wacana komprehensif.

Fase Kepompong

Sekarang ini, hiruk pikuk pendidikan tinggi di Indonesia sesungguhnya masih bergerak dalam fase kepompong. Sementara, negara-negara tetangga terdekat seperti Malaysia, Singapura, atau Australia sudah mencapai fase kupu-kupu yang terbang dengan sayapnya yang begitu indah.

Jika melihat kilas balik sejarah pendidikan tingggi di Indonesia, semasa Era Soeharto sebelum krisis ekonomi Indonesia muncul, ketika orang ditanya kenapa milih perguruan tinggi negeri (PTN), pada umumnya publik akan menjawab kualitas PTN lebih bagus dibanding perguruan tinggi swasta (PTS) karena memang biayanya lebih murah. Kenapa bisa lebih murah? Tentu pada waktu itu akan mendapat jawaban pasti bahwa yang namanya negeri otomatis pemerintah ikut campur dalam soal pembiayaan maupun staf pengajar yang terjamin. Sementara untuk kuliah di PTS wajar saja mahal, karena berdiri sendiri tanpa campur tangan pemerintah.

Tetapi kondisi sekarang ini, anggapan di atas justru tidak akan ditemui lagi karena kenyataannya berbalik. Pemerintah secara perlahan-lahan mulai melepaskan diri dalam soal pendidikan tinggi, meski tidak 100 % lepas total. Rencana alokasi dana pendidikan yang dicanangkan hingga 20 % dari total APBN, ternyata lebih difokuskan pada pembinaan dan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah karena memang lebih penting terutama dalam aspek membentuk karakter bangsa ke depan.

Biaya Besar
Bagaimana pun harus diakui, pendidikan tinggi yang bermutu memang membutuhkan biaya besar. Tidak bisa dipungkiri, pada awalnya, banyak universitas top di Australia justru mengandalkan sumber pendapatannya dari kocek mahasiswanya sendiri. Pertanyaannya, seberapa jauh mutu yang dihasilkan dari sebuah universitas yang mahal di Indonesia? Seandainya banyak warga yang mampu kuliah di univeritas mahal, mereka pasti sebagian besar tidak akan kuliah di Indonesia alias lebih memilih sekolah di luar negeri. Problem mutu inilah yang menjadi entitas pendidikan itu sendiri.
Ditilik dari latar belakang pada pasca krisis, seperti diketahui sektor pendidikan sebenarnya merupakan amanah yang pernah ditawarkan IMF dan World Bank kepada Indonesia untuk melakukan reformasi ekonomi. Seiring dengan kuatnya IMF dan lembaga kreditor lainnya pada waktu itu akibat ketergantungan Indonesia akan utang pada saat itu, maka mereka mendesak melaksanakan program liberalisasi ekonomi. Masih segar dalam ingatan, program liberalisasi dalam bentuk LoI (Letter of Intent) adalah perjanjian antara Indonesia dan IMF untuk mendapat kucuran utang baru dengan syarat mencabut subsidi pada sektor publik seperti listrik, BBM, air, kesehatan dan pendidikan. Pada intinya, LoI memiliki empat aspek, yaitu pelaksanaan anggaran ketat dan penghapusan subsidi, liberalisasi keuangan, perdagangan bebas dan privatisasi BUMN. Sama halnya dengan liberalisasi di sektor migas, liberalisasi pada sektor pendidikan juga mengharuskan pemerintah untuk membebaskan masing-masing PTN yang bertujuan agar lebih mandiri.

Ketika akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil menggolkan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UUBHP) yang disahkan oleh DPR, muncul anggapan ekstrim bahwa sesungguhnya pemerintah secara total tidak akan mencampuri urusan pendidikan tinggi. Di lain pihak, banyak kalangan menilai jika pemerintah tetap ikut campur terhadap penyediaan sektor publik, maka pemerintah dianggap sebagai biang keladi yang akan mengakibatkan inefisiensi dan ketidakefektifan. Inefisiensi dan ketidakefektifan inilah yang dianggap sebagai troublemaker rendahnya mutu perguruan tinggi di Indonesia.

Partisipasi pemerintah dalam memajukan pendidikan tinggi memang harus tetap diikutsertakan. Namun demikian, pemerintah bisa membantu setidaknya menjadi fasilitator, misalnya, lobi dan diplomasi kerjasama dengan pihak-pihak internasional. Saat ini, akibat kondisi ekonomi Indonesia yang masih belum pasti. Lihat saja semakin hari daya beli masyarakat rendah sekali karena harga-harga kebutuhan pokok sangat fluktuatif. Jadi jangan berharap sumber keuangan negara bisa mewujudkan ide kompetensi keilmuan dan kegunaan. Justru sebaliknya, semua PTN (bahkan mungkin seluruh PTS) diuji serta seharusnya juga tertantang untuk membangun citra dan mutu ke arah dua kompetensi itu. Kemandirian PTN-PTS untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi yang bermutu adalah mimpi yang sebetulnya bisa dicapai meski memang membutuhkan komitmen dan upaya keras dari masing-masing PT.

Alternatif Solusi
Solusi alternatif adalah pemberdayaan resource dan peran ikatan alumni masing-masing PTN-PTS. Banyak ikatan-ikatan alumni di tanah air cenderung tidak peduli terhadap almamaternya, bahkan pasif sama sekali. Padahal, di Amerika Serikat saja hampir semua ikatan alumni sangat aktif dan ikut menyumbang rata-rata 30 % terhadap sumber pendapatan tahunan univeritas.
Ikatan alumni di sana bangga sekali apabila almamaternya menjadi sumber inspirasi, kritisi, atau literasi di tingkat nasional maupun internasional. Kompetisi antar universitas yang tinggi juga menjadi pemicu utama bagaimana ikatan-ikatan alumni di AS bersemangat untuk ikut berperan aktif membangun kompetensi keilmuan dan kegunaan sebagai aspek nyata kemandirian pendidikan tinggi. Maka tidak heran, 20 dari 50 peringkat universitas top dunia untuk katagori umum berada di Amerika Serikat.
Fakta tersebut jangan membuat kita berkecil hati. Pendidikan tinggi Indonesia harus terus dibenahi sebaik mungkin. Biarlah masing-masing PTN-PTS diberi tanggung jawab untuk lebih berupaya keras membangun dua kompetensi dasar tadi dengan cara dan ciri khas tersendiri. Seperti yang pernah disampaikan mantan Rektor University of Tokyo, Shigehiko Husumi PhD, bahwa kualitas pendidikan dan riset pada hakekatnya tidak dapat dibandingkan antara universitas yang satu dengan universitas yang lain. Seperti juga karakteristik seseorang adalah sangat sulit untuk dikuantifikasi. Maknanya, tidak ada istilah terlambat dalam membangun karakter pendidikan tinggi yang berkompetensi selain bekerja keras dan lebih keras mengejar.

Artikel 5:

Implementasi Teknologi Nano: Pembaruan Pendidikan Tinggi Teknik Mesin

Mesin merupakan teknologi yang dekat dengan kehidupan masyarakat modern. Saat ini, hampir seluruh bidang kehidupan membutuhkan mesin dalam jenis beragam yang berujung pada bertambahnya kebutuhan akan tenaga ahli. Kondisi demikian seharusnya menciptakan link and match antara industri dengan perguruan tinggi. Kenyataan tentang adanya sarjana teknik mesin yang tidak bekerja sesuai bidangnya serta perkembangan teknologi dunia yang mengarah pada nanotechnology mendorong pertemuan untuk meninjau ulang sistem pendidikan yang ada.
Menanggapi hal tersebut, bertempat di Aula Barat ITB, Sabtu (9/11), para praktisi pendidikan berkumpul dalam Seminar Pembaruan Pendidikan Tinggi Teknik Mesin. Diprakarsai oleh Ikatan Alumni Teknik Mesin ITB angkatan 1970-1972, seminar ini menjadi ajang pemaparan kondisi pendidikan jurusan teknik mesin pada universitas di dalam dan luar negeri, serta pembahasan nanotechnology yang semakin berkembang di berbagai belahan dunia. Hadir dalam acara tersebut antara lain Senat Akademik Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD), Majelis Guru Besar Aktif, Majelis Guru Besar Purna Bakti, MWA Dewan Audit, Perwakilan dari jurusan Teknik Mesin dari berbagai universitas, serta para alumni Teknik Mesin ITB angkatan 1970-1972. Turut hadir sebagai pembicara antara lain Dekan FTMD, Dr. Ir. Andi Isra Mahyuddin; Prof. Amer Noordin Darus et.all. dari Malaysia; Gang Chen, Warren and Towneley Professor dari MIT; Dr. Ratno Nuryadi dari BPPT; Prof. Dr. Ir. Tresna P. Soemardi dari Universitas Indonesia; Mantan Profesor ITB, Dr. Ir. Sri Hardjoko Wirjomartono dan Dr. M. Ansjar; serta Dr. Yasraf Amir Piliang MA dari Fakultas Seni Rupa dan Desain.
Disampaikan oleh Sri Hardjoko dalam makalahnya yang berjudul Perkembangan Proses Manufaktur dan Pemutakhiran Kurikulum Program Studi Teknik Mesin, industri mesin merupakan tulang punggung industri secara keseluruhan. Berdasarkan hasil penelitian, industri mesin di Indonesia masih lemah dalam hal desain komponen dan produk, teknologi produksi, teknik pengukuran, dan teknologi operasional perkakasnya. Sementara saat ini, perkembangan industri dunia diarahkan pada nano manufaktur.
Senada dengan seminar yang disampaikan oleh Gang Cheng, di dunia barat, teknologi nano kian meluas perkembangannya. Perkembangan teknologi ini di Amerika Serikat telah dimulai sejak tahun 2000 dan sejak 2003, bahasan tersebut telah menjadi mata kuliah di MIT.
Pertama kali dikenalkan oleh Richard Feynmann pada tahun 1965, teknologi nano merupakan kemampuan untuk melakukan manipulasi, kontrol, produksi, dan manufaktur benda dalam presisi atom. Pengukuran dan permodelan dilakukan dalam skala 100 nanometer atau lebih kecil. Bidang-bidang industri yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi nano dalam manufaktur antara lain; Komputer (menuju ke kecepatan yang lebih tinggi), farmasi, kedokteran (untuk pengaturan asupan obat, rehabilitasi syaraf dan jaringan), surface coating pada material, katalis (industri kimia dan industri lainnya), sensor, telekomunikasi, material magnit dan peralatan sejenisnya dan lain-lain. Beberapa negara lainnya yang telah berinvestasi pada pengembangan teknologi ini diantaranya Jepang, Jerman, Perancis, dan Inggris.

Di Indonesia, teknologi nano dalam beberapa tahun ke depan diperkirakan masih akan berkembang dalam bentuk riset. Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang besar. Namun, kekayaan yang didapatkan melalui penambangan, pencairan, dan rangkaian pengolahan yang sangat memakan biaya ini akan segera tergeser oleh nano material yang lebih ringan, murah, serta hanya memerlukan energi yang sangat kecil dalam pembuatannya. Sayangnya, pembahasan tentang teknologi nano belum menjadi kurikulum di pendidikan tinggi. Kendala lain yang juga dihadapi oleh universitas dalam negeri menurut Yasraf Amir Piliang MA, adalah lambatnya pertumbuhan, inovasi, maupun karya-karya kreatif. Maka, seminar ini menjadi sangat penting agar kurikulum yang diajarkan pada pendidikan tinggi sejalan dengan perkembangan teknologi terbaru.

Ditemui di sela-sela acara, mantan Direktur PT. Garuda Indonesia (Persero) sekaligus ketua panitia seminar, Ir. Indra Setiawan, M.Ba, menjelaskan bahwa perkembangan teknologi saat ini diarahkan agar Indonesia tidak hanya menjadi pengguna, namun juga mampu menciptakan teknologi berwawasan lingkungan yang responsif, adaptif, dan aplikatif. Yang perlu ditekankan adalah penajaman arah pendidikan agar tercipta professional engineer dalam berbagai bidang ilmu.

Dalam seminar ini diluncurkan pula buku Transpor dan Konversi Energi Nanoskala karya Gang Chen yang dialihbahasakan oleh Ir. Filino Harahap, M.Sc., Ph.D., mantan Profesor di bidang Teknik Mesin yang kini menjadi aktifis pengembang teknologi nano di Indonesia.