Rabu, 18 Maret 2009

Pendidikan Menengah

Artikel 1:

Pendidikan Menengah Umum

Program-program yang ditawarkan dan langsung ditangani secara terpusat oleh Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim pada Bidang Dikmenum melalui program Peningkatan Mutu Pembelajaran secara umum dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu:

1) pemerataan dan perluasan akses,

2) mutu, relevansi dan daya saing, serta

3) governance, akuntabilitas dan pencitraan public.

Bagian berikut akan mendiskripsikan masing-masing program tersebut.

A. Pemerataan dan Perluasan Akses

Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dicanangkan pada tahun 1994 dan diharapkan dapat tuntas pada tahun 2003/2004. Namun, krisis multidimensi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 menyebabkan target tersebut tidak dapat tercapai. Target penuntasan Wajar yang bermutu disesuaikan dari 2003/2004 menjadi 2008/2009. Permasalahan yang masih perlu penanganan bersama diantaranya adalah :

  • Jumlah anak usia 13 – 15 tahun yang belum mendapatkan layanan pendidikan pada tahun 2005 masih cukup tinggi, yaitu sekitar 1,9 juta.
  • Angka Partisipasi Kasar SMP dari 118 kabupaten/kota di Indonesia masih di bawah 75%
  • Angka putus SMP masih sebesar 2,74 % (272.000 anak) yang dimungkinkan disebabkan karena faktor kemiskinan (jumlah keluarga miskin di Indonesia tahun 2005 mencapai 17%).
  • Peran Pemda dalam penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun masih rendah
  • Adanya kesenjangan budaya dan kesetaraan gender
  • Sarana dan prasarana pendidikan kurang memadai.

Beberapa permasalahan di atas memerlukan penyelesaian yang berbeda-beda. Agar semakin banyak anak usia 13 – 15 tahun dapat melanjutkan pendidikan di jenjang SMP salah satu upayanya adalah meningkatkan daya tampung pada jenjang SMP.

Adapun program-program yang ditawarkan Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim Pembinaan SMP dalam kelompok ini mencakup : unit sekolah baru (USB), pembangunan ruang kelas baru (RKB), SMP Terbuka, Beasiswa SMP Terbuka, sosialisasi penuntasan Wajib Belajar dan SD-SMP Satu Atap. Ringkasan informasi masing-masing program tersebut sebagai berikut.

  1. Unit Sekolah Baru (USB)
  2. Pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB)
  3. SMP Terbuka
  4. Sosialisasi Penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun
  5. Pengembangan SD SMP Satu Atap

B. Mutu, Relevansi dan Daya Saing

Beberapa tantangan yang dihadapi dalam peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan SMP diantaranya :

  • Walaupun nilai rata UAN SMP Nasional tahun 2004/2005 sebesar 6.28, masih ada 4.703 SMP atau 21.47% SMP yang pencapaiannya di bawah 5,5.
  • Prestasi non akademik masih minimal
  • Angka mengulang kelas masih cukup tinggi, yaitu sebanyak 31.154 pada tahun 2005.
  • Proses pembelajaran belum bermutu.

Dalam rangka peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim Pembinaan Sekolah Menengah Pertama akan melaksanakan beberapa program yang dikoordinir adalah : .

  1. Pembelajaran Kontekstual
  2. Sosialisasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
  3. Pendidikan Teknologi Dasar (PTD)
  4. Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills)
  5. Pembelajaran Bilingual
  6. Program Matrikulasi/Bridging Course
  7. Program Kesiswaan
  8. Widyakrama
  9. Pembinaan Sekolah
  10. Regional Education Development and Improvement Program-Government (REDIP-G)
  11. Pembangunan Ruang Penunjang Pembelajaran Lain (RPL)

C. Governance, Akuntabilitas dan Pencitraan Public

Dalam rangka mengawal program-program yang akan diimplementasikan, Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim Pembinaan SMP melakukan berbagai upaya baik di tingkat pusat maupun di level sekolah untuk membuat agar program-program itu benar-benar mencapai sasaran dan akuntabel.

Di tingkat pusat, program yang dilaksanakan untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan yang bersih dan akuntabel adalah pengembangan Sistem Informasi Manajemen Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim Pembinaan SMP. Sedangkan untuk di level sekolah, Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim Pembinaan SMP menekankan implementasi Manajemen Berbasis Sekolah pada seluruh Sekolah Menengah Pertama. Di samping itu, Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim Pembinaan SMP juga melaksanakan berbagai program yang sifatnya mengantar, membina atau melakukan supervise dan memonitor kegiatan di lapangan. Bagian berikut, akan mendiskripsikan ketiga kelompok kegiatan itu.

  1. Pengembangan SIM Direktorat Pembinaan SMP
  2. Manajemen Berbasis Sekolah
  3. Monitoring dan Evaluasi Independen
  4. Program-program lain.

Artikel 2:

Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis TIK Diluncurkan

Semakin majunya era teknologi informasi dan komunikasi membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berpikir keras agar pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tidak ketinggalan. Karenanya, Pemprov DKI mencanangkan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Jakarta di dalam pendidikan SMA dan SMK Negeri. Pencanangan komunitas ini diluncurkan langsung Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta melalui pesan singkat kepada seluruh kepala sekolah yang hadir di Balai Agung, Selasa (14/10).

Kemudian Fauzi Bowo diberikan sebuah spidol oleh ROCI buatan seorang pelajar SMA Negeri di Jakarta. Spidol itu dipakai gubernur untuk menandatangi plakat yang disediakan Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta. Setelah peluncuran ini, artinya pelajar SMA dan SMK DKI tidak ketinggalan dengan negara maju dan berkembang lainnya. Seperti di Korea Selatan telah ada Cyber Korea 2001, Jepang dengan e-Japan Priority Program, Malaysia dengan Smart School dan negara-negara Eropa yang membangun e-Europe.

Meski baru diluncurkan sekarang, sebenarnya kegiatan pendidikan berbasis TIK telah diawali dengan berbagai kegiatan sejak 2003 antara lain pelaksanaan sistem software administrasi sekolah (SAS) offline dan online pada 2004 dan 2006, dan pemberian fasilitas kepemilikan laptop bagi guru pada 2006. Selain itu penambahan perangkat dan jaringan terus dilakukan. Hingga saat ini seluruh SMA/SMK negeri dan lebih dari 70 persen sekolah swasta sudah tersambung dengan jaringan internet.

Komputer yang terhubung ke internet lebih dari 10 ribu unit, dan 100 sekolah terpasang hotspot, 200 ruang guru dilengkapi LCD. Sedangkan guru yang telah memiliki laptop ada sekitar 7 ribu guru. AKhir tahun ini diharapkan seluruh SMA/SMK swasta sudah terhubung ke jaringan internet. Saat ini, terdapat 116 SMA negeri, 62 SMK negeri, 346 SMA swasta, dan 606 SMK swasta. Seluruh SMA dan SMK Negeri, komputernya telah terkoneksi dengan jaringan internet. Sedangkan untuk SMA dan SMK swasta baru, 60 persen terkoneksi dengan jaringan internet. Saat ini hanya ada 200 ruang kelas yang memakai LCD Projector dari puluhan ribu kelas di SMA dan SMK negeri dan swasta di Jakarta.

Fauzi Bowo Gubernur DKI Jakarta menekankan, pemanfaatan TIK untuk SMA dan SMK baik negeri maupun swasta, harus diarahkan untuk peningkatan dan perluasan kesempatan belajar, peningkatan mutu pendidikan dan daya saing, serta peningkatan akuntabilitas dan citra publik. “Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi,” katanya dalam acara Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Prov DKI Jakarta di Balai Agung, Selasa (14/10).

Karena, murid-murid SMA dan SMK harus siap menjadi basis pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan di masa mendatang. Sebab dengan TIK, secara langsung telah memengaruhi cara belajar siswa untuk mengolah berbagai informasi dari berbagai tempat. “Program ini bertujuan meningkatkan sektor informasi TIK terutama di bidang pendidikan yang akan menjadi kunci sukses negara di masa depan,” ujar dia. Hingga tahun ini, di DKI Jakarta telah ada 10 ribu komputer sekolah telah terhubung internet. Sejumlah sekolah telah dilengkapi dengan wi-fi dan hotspot.

Kendati demikian, terang mantan Wakil Gubernur era Sutiyoso ini, 30 persen SMA masih memiliki sistem komputer yang out of date dan perlu di-upgrade. 30 persen SMA dan SMK telah memiliki laboratorium komputer, tetapi 15 persen diantaranya laboratorium komputernya sangat minim sarananya.

Sementara itu, Margani Mustar, Kepala Dikmenti DKI menyatakan, pencanangan komunitas berbasis TIK ini merupakan upaya untuk membangun kultur yang memotivasi siswa agar mampu mandiri dalam berpikir dan belajar. Pencanangan ini merupakan wujud kolaborasi antara dinas pendidikan menengah dan tinggi, sudin dikmenti, sekolah, telkom, microsoft, oracle education foundation, one`s beyond dan yayasan yang berkecimpung dibidang pendidikan lainnya. “Target ke depan, setiap kelas ada LCD Projector dan komputer. Kemudian ada ruangan khusus untuk multimedia dan local area networking untuk memungkinkan pembelajaran online siswa se-Jakarta,” harap Margani.

Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bukan untuk menghilangkan sisi humanisme para siswa, melainkan hanya untuk pembangunan kultur pemanfaatan TIK. Untuk mewujudkan masyarakat yang berpengetahuan, maka masyarakat harus selalu dapat mengakses informasi. Dengan tersedianya infrastruktur TIK, sekolah harus membentuk jejaring antar institusi pendidikan agar dapat saling menukar pengetahuan dan sumber daya.

Artikel 3:

Dirjen Pendidikan Dasar Menengah Tetapkan SMA Negeri 1 Tebingtinggi Sekolah Bermutu Internasional

Dirjen Pendidikan Dasar Menengah pada tahun 2007 telah menetapkan SMA Negeri 1 Kota Tebingtinggi sebagai Sekolah Bermutu Internasional (SBI).
Demikian dikatakan Kepala SMA Negeri 1 Kota Tebingtinggi Drs Bahtera Sembiring MPd kepada SIB, Selasa (10/7). Ditetapkannya SMA Negeri 1 menyandang SBI karena telah mampu melaksanakan program sekolah bermutu internasional yang mendapat dukungan penuh dari walikota dan Kadis P dan K.
Selain itu, kriteria yang ditetapkan untuk dapat menyandang SBI yakni SDM, sarana dan prasarana serta kurikulum sekolah telah dipenuhi dan dilaksanakan di SMA Negeri 1 Tebingtinggi.
Namun kata Bahtera Sembiring, walaupun SMA Negeri 1 telah ditetapkan berstandar SBI akan tetapi baru hanya untuk 2 kelas. “Kita harapkan hasil tes khusus untuk 60 siswa berupa physicotest dan Bahasa Inggris dapat menaikkan jumlah kelas berstandart SBI, papar Sembiring sembari menyebutkan harus mencapai 100 orang.
Disamping telah menyandang sekolah berstandart SBI, SMA Negeri 1 Tebingtinggi juga merupakan sekolah binaan khusus yang mendapat perhatian penuh dari walikota dan Kadis P dan K. SMA Negeri 1 menjadi salah satu sekolah yang diincar para siswa dan orang tua murid.

Artikel 4:

Dinas Pendidikan Menengah Dinilai Boros

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 56 penyimpangan sebesar Rp 25,984 miliar di Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta. Itu baru hasil pemeriksaan BPK pada semester kedua 2005, khusus kinerja Dinas pada tahun anggaran 2004.
Anggota BPK Baharuduin Aritonang mengatakan, BPK telah mengeluarkan rekomendasi untuk setiap kasus yang ditemukan. Termasuk rekomendasi itu adalah pemberian sanksi kepada petugas yang terlibat dan pengembalian uang ke kas negara.
BPK telah melaporkan semua temuan itu ke Dewan Perwakilan Rakayat Daerah (DPRD) DKI Jakarta. "Kami sudah laporkan. Selanjutnya Dewan yang harus mengejar," kata Baharudin.
BPK membagi penyimpangan di Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi ke dalam dua kategori. Pertama, penyimpangan terhadap azas kehematan. Jumlahnya mencapai 33 kasus dengan nilai pemborosan sekitar Rp 5,713 miliar.
"Sebesar Rp 3,338 miliar tergolong merugikan keuangan negara," tulis BPK dalam dokumen laporan yang diterima Tempo.
Termasuk dalam kategori pemborosan, misalnya, pembayaran ganda ganda akomodasi dan konsumsi pada loka karya peningkatan mutu SMA sebesar Rp Rp 437 juta, proyek pengadaan buku pelajaran dan perpustakaan kemahalan sekitar Rp 954 juta, dan pengadaan program Pesona Fisika dan Multimedia untuk SMA yang tidak sesuai aturan sebesar Rp 1,272 miliar.
Jenis temuan kedua adalah penyimpangan yang mengakibatkan tak tercapainya tujuan program. Jumlahnya ada 33 kasus dengan nilai penyimpangan sekitar Rp 20,271 miliar. Dari jumlah itu, yang dianggap merugikan keuangan negara sekitar Rp 191 juta.
Jadi, menurut BPK, Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta paling tidak harus mengembalikan uang ke kas negara sebesar Rp 3,529 miliar.

Kepala Dinas Pendidikan Menengah Tinggi DKI Jakarta Margani M Mustar membantah ada penyimpangan di lembaganya. "Tak ada penyimpangan, tak ada kerugian negara," kata Margani kepada Tempo di kantornya, Jumat (2/6) malam.

Awalnya, kata Margani, Dinas menyambut baik keinginan BPK memeriksa. "Kami senang, karena kami pikir akan mendapatkan feed back." Tapi, kata Margani, saat pemeriksaan itu berakhir, "Kami kecewa dengan hasil pemeriksaan BPK."

Menurut Margani, temuan BPK-lembaga audit tertinggi negara-itu bertentangan dengan temuan Badan Pengawasan Daerah yang juga memeriksa Dinas Pendidikan Menengah pada periode yang sama, Lembaga audit tingak provinsi itu, kata Margani, sama sekali tak menemukan penyimpangan.

Meski begitu, Dinas Pendidikan Menengah kini tengah meneliti ulang temuan BPK. Termasuk yang diteliti itu temuan pembayaran ganda akomodasi dan konsumsi workshop peningkatan mutu SMA.

"Kami heran mengapa kasus itu masih dipublikasi. Kami sebelumnya telah memberi tanggapan, itu sesuai anggaran dalam daftar isian proyek." Jika dalam penelitian ulang temuan BPK tidak terbukti, kata Margani, "Dinas tak akan mematuhi rekomendasi BPK."

Artikel 5:

Kualitas Pendidikan Tingkat Menengah Sangat Memprihatinkan

Masyarakat luas di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, awal Mei 2005 ini geger sehubungan dengan pengumuman hasil uji coba ujian nasional tingkat SMP tahun ajaran 2004/2005. Hasil uji coba ujian nasional yang menggunakan dasar Kurikulum 1994 sebagai acuan kompetensi menunjukkan, dari 43 SMP peserta tes hanya 4 SMP saja yang lulus ujian. Artinya, nilai rata-rata di 4 SMP tersebut berada di atas ambang kelulusan yang dipatok pemerintah, yakni 4,25. Sementara nilai rata-rata 39 SMP lain berada di bawah ambang batas kelulusan.

Meskipun sebuah SMP dinyatakan lulus, bukan berarti semua siswa di sekolah tersebut lulus uji coba. Begitu juga sebaliknya. Ketidaklulusan sekolah dapat dibaca dari mayoritas siswa di sekolah tersebut yang nilai tesnya di bawah ambang batas kelulusan.

Uji coba di Kudus dilaksanakan 18-21 April 2005, diikuti sekitar 6.000 siswa kelas III dari 43 SMP. Ada enam mata pelajaran yang diujikan, yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Materi uji coba disiapkan oleh Musyarawah Guru Mata Pelajaran (MGMP) setempat dengan mengacu dasar-dasar kompetensi yang dipatok pemerintah.

Perhitungan secara kasar dari 6.000 siswa peserta tes, jika ada 39 sekolah tidak lulus, artinya jumlah siswa yang gagal menembus patokan pemerintah (angka 4,25) diperkirakan mencapai 5.000 anak lebih. Mengingat Kabupaten Kudus termasuk daerah maju dan berada di Pulau Jawa, bagaimana dengan hasil-hasil tes di lain tempat terutama di luar Pulau Jawa?

Pelaksanaan uji coba bertujuan memetakan kesiapan siswa menjelang ujian nasional sesungguhnya yang akan dilaksanakan 6-8 Juni 2005. Guna menjamin validitas hasil, uji coba dikoreksi dengan sistem optical mark reader (OMR) di Lab Komputer Lembaga Pendidikan Mandiri Semarang. Para siswa mengerjakan soal dengan lembar jawaban komputer (LJK) sehingga saat ujian sesungguhnya tidak akan canggung.

Keempat sekolah yang dinyatakan lulus terdiri 3 SMP negeri dan 1 SMP swasta. Mereka adalah (berdasarkan peringkat) SMP Negeri 2 Kudus, SMP Keluarga, SMP Negeri 1 Jekulo, dan SMP Negeri 1 Gebog (lihat tabel 1). Dari 46 SMP di Kudus, hanya tiga sekolah tidak ikut uji coba tertulis, yaitu SMP Negeri 1 Kudus, SMP Negeri 1 Jati, dan SMP Negeri 3 Bae, yang beruji coba sendiri menggunakan metode contextual teaching learning (CTL) .

Meski hasil tes amat buruk, kalangan birokrasi Departemen Pendidikan Nasional dan penanggung jawab uji coba justru menyalahkan materi tes yang katanya dibuat sulit. Menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Provinsi Jateng Suwilan Wisnu Yuwono, hasil uji coba ujian nasional tidak bisa dijadikan ukuran kelulusan. "Biasanya soal untuk uji coba dibuat sulit untuk merangsang siswa agar nilai ujian nasional bisa bagus," ujar Suwilan (Kompas edisi Jateng, 21 Mei 2005).

Menarik untuk disimak apakah memang benar materi uji coba di Kudus dibuat jauh lebih sulit dibandingkan dengan ujian nasional yang diadakan pemerintah pusat? Jika memang benar uji coba dibuat sulit, lantas di mana posisi ujian nasional yang menelan biaya tidak sedikit itu? Mengingat tes uji coba juga menggunakan spesifikasi butir soal sesuai dengan standar kompetensi lulusan, bukankah berarti kualitas pendidikan tingkat menengah secara nasional (diwakili hasil di Kudus) tercermin dari hasil tes tersebut?

Peraturan Mendiknas Nomor 1 Tahun 2005 tentang ujian nasional tahun ajaran 2004/2005, Pasal 3, disebutkan, ujian nasional bertujuan untuk mengukur dan menilai kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi peserta didik pada mata pelajaran yang ditentukan dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan. Perlu diingat, untuk tahun ajaran 2004/2005 ini, peserta didik dinyatakan lulus ujian nasional apabila memiliki nilai lebih dari 4,25 untuk setiap mata pelajaran yang diujikan (Pasal 14 Ayat 1).

Akan tetapi, standar kelulusan 4,25 sebenarnya tidak baku. Karena Pasal 14 Ayat (2) disebutkan, pemerintah daerah dan atau satuan pendidikan dapat menetapkan batas kelulusan di atas nilai sebagaimana dimaksud pada Ayat (1). Artinya, masing-masing satuan pendidikan (sekolah) diberi kewenangan untuk menetapkan tingkat kelulusan asal tidak boleh di bawah patokan pemerintah, yakni 4,25.

Konsekuensi dari Pasal 14 Ayat (1) di atas kelulusan peserta didik ditentukan dari 12 mata pelajaran yang diujikan. Dari 12 mata pelajaran tadi, tiga di antaranya, yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika, materi soalnya ditentukan pusat, sementara sembilan mata pelajaran lain, materi soal dikelola daerah atau sekolah masing-masing.

Dalam kasus uji coba di Kudus, enam materi tes semua disiapkan pihak MGMP, yang berarti tingkat validitas hasil lebih mencerminkan kualitas pendidikan peserta didik. Pihak sekolah sama sekali tidak dilibatkan dan tidak mengetahui spesifikasi butir soal yang akan keluar tes.

Validitas akan tampak jika menyoroti jumlah kegagalan sekolah lulus ujian dilihat dari hasil per mata pelajaran (lihat tabel 2). Ternyata ditemukan bukti kegagalan sekolah bukan karena hasil satu mata pelajaran saja. Bahkan, sejumlah sekolah gagal di lima mata tes uji coba. Yang menarik, dari enam mata pelajaran tes uji coba, hanya mata pelajaran PPKn yang berhasil meloloskan 43 sekolah (lihat tabel 3), sementara yang gagal lulus terbanyak di 39 SMP disebabkan karena mata pelajaran Matematika.

Jika mau jujur, tingkat validitas kualitas pendidikan tidak tercermin dari hasil tes sesungguhnya. Bukan rahasia lagi tes ujian yang diadakan sekolah atau daerah hampir dapat dipastikan peserta didik akan lulus. Tanpa bersusah payah dan tanpa belajar pun tidak akan ditemui cerita seorang siswa gagal ujian.

Dari pengalaman selama ini, tes yang diadakan sekolah atau daerah penuh hasil rekayasa. Ada tiga sistem menilai hasil tes siswa, yaitu sistem silang penuh, setengah silang, dan terakhir dinilai 2 guru sekolah sendiri. Sistem silang penuh hasil tes dinilai 2 orang guru lain sekolah. Sistem setengah silang, hasil tes dinilai 1 guru sendiri dan 1 guru lain sekolah. Hasil penilaian 2 guru dimasukkan lembar bantu lalu "dikawinkan" untuk kemudian diperoleh hasil akhir masing-masing siswa.

Jika ditemukan ada siswa nilainya berada di bawah ambang batas kelulusan, nilai tersebut "didongkrak" sehingga akhirnya dapat lulus ujian. Nilai "dongkrak" itu biasanya diputuskan melalui mekanisme rapat antarsekolah. Alhasil, nilai hasil ujian nasional yang diadakan sekolah atau daerah hampir dipastikan selalu lolos ambang batas kelulusan. Mengapa ketidakjujuran itu selalu berlangsung saban tahun? Jawabnya mudah. Pengambil kebijakan sendiri (baca: pejabat teras Depdiknas) juga berlaku tidak jujur dan membiarkan kecurangan tersebut terjadi.

Dari kajian sederhana ini dapat ditarik kesimpulan, banyak pihak belum mampu mandiri. Orangtua ingin selalu anaknya lulus ujian, guru juga belum punya keberanian. Pihak sekolah selalu bangga mampu lulus 100 persen. Pejabat terkait sama juga, selalu minta anak buahnya mampu meloloskan sebanyak mungkin. Meski untuk cara itu ditempuh beragam rekayasa.

Dibutuhkan keberanian untuk merombak sistem yang ada. Sistem penilaian komputer yang dikelola pusat sudah barang tentu tidak luput dari rekayasa. Hasil yang diperoleh siswa bukan melalui proses belajar-mengajar, namun bergantung pada programer. Memang untuk maju butuh keberanian dan kejujuran. Hasil uji coba di Kudus membuka mata kita bahwa kualitas pendidikan tingkat menengah sudah amat buruk.

0 komentar: